Entri Populer

Sabtu, 12 Desember 2009

KONSEP WASIAT DALAM ISLAM


KONSEP WASIAT DALAM ISLAM

A. Pengertian Wasiat

Keberadaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada masa Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.[1]

Untuk dapat memahami konsep wasiat dalam Islam secara menyeluruh, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian wasiat, baik secara etimologis maupun terminologis berdasarkan pendapat para ulama disertai dengan landasan argumentasi mereka.

Secara etimologis, kata "wasiat" berasal dari Bahasa Arab وصي- يوصي- وصيّة ; وصيت الشئ yang berarti أوصلته (aku menyampaikan sesuatu).[2] Dalam al Qur`an, kata "wasiat" dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti, diantaranya berarti menetapkan, seperti yang terdapat dalam Q.S. al An`am ayat 144 (أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا ), memerintahkan terdapat dalam Q.S. Luqman ayat 14 (وَوَصَّيْنَا الْلإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ) dan Q.S. Maryam ayat 31 (‎وَأَوْصَانِي بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ), mensyari`atkan atau menetapkan, sebagaimana terdapat dalam Q.S. an-Nisa` ayat 11 (يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ). Berdasarkan makna kata-kata di atas, dapat dipahami bahwa kata wasiat mengandung perintah yang harus dijalankan oleh pihak lain.[3]

Dalam pengertian yang lebih luas, wasiat dipahami dengan

العهد إلي الغير في القيام بفعل أمر حال حياته أو بعد وفاته

Pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, baik ketika orang yang berwasiat masih hidup atau sudah wafat. [4]

Secara terminologis, para fuqaha` berbeda pendapat dalam mendefinisikan wasiat. Menurut mayoritas ulama Hanafiyah, wasiat adalah

تمليك مضاف إلي ما بعد الموت بطريق التبرع

"Pemberian hak milik yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia dengan jalan tabarru` (sukarela).[5]

Menurut Mahmashani dalam Kitab al Mabadi` al Syar`iyyah wa al Qanuniyyah, definisi tersebut mencakup tiga hal pokok[6], yaitu :

1. Wasiat merupakan pemindahan hak milik berupa harta yang meliputi benda (hak milkiyyah) dan jasa (hak al intifa`).

2. Pemindahan harta wasiat tersebut berlaku setelah wafat. Hal inilah yang kemudian membedakan wasiat dengan hibah, dimana hibah berlaku ketika pemberinya masih hidup.

3. Wasiat semata-mata dilakukan untuk kebaikan, artinya tanpa mengharapkan imbalan apapun. Hal ini pula yang membedakan dengan jual beli, hadiah, dan lain-lain.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa wasiat adalah pemilikan harta, baik berupa benda ataupun jasa yang pelaksanaannya dikaitkan dengan waktu setelah wafatnya pewasiat tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Lebih lanjut, ulama dari kalangan Malikiyah memberikan definisi yang lebih rinci dengan memasukkan jumlah harta yang dapat diwasiatkan. Menurut mereka, wasiat adalah

عقد يوجب حقا في ثلت مال عاقد يلزم بموته أو يوجب نيابة عنه بعده [7]

"Transaksi yang mengharuskan penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi wasiat setelah meninggal atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima."

Ulama dari kalangan Syafi`iyah mendefinisikan wasiat :

الوصية تبرّع بحقّ مضاف إلى ما بعد الموت سواء اضافه لفظا أو لا[8]

"Wasiat adalah suatu perbuatan baik dengan memberi hak yang pelaksanaannya berlaku setelah wafat, baik diucapkan atau tidak"

Para ulama dari kalangan Hanabilah memberikan rumusan yang lebih sederhana dibandingkan ulama-ulama dari kalangan mazhab lain :

الوصية هي الأمر با لتصرّف بعد الموت كأن يوصي شخصا بأن يقوم على أولاده الصغار أو يزوج بناته أو يفرق ثلث ماله أو نحو ذلك[9]

"Transaksi yang berlaku setelah wafat, seperti berwasiat kepada seseorang agar memelihara anaknya yang masih kecil atau mengawini anak perempuannya atau menyisihkan 1/3 hartanya, dan lain-lain."

Menurut al Sayyid al Sabiq, wasiat adalah

هبة الانسان غيره عينا او دينا او منفعة على ان يملك الموصى له الهبة بعد موت الموصى [10]

"Pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, piutang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal."

Apabila dicermati, beberapa definisi wasiat yang dikemukakan di atas terlihat memiliki persamaan, yaitu: a) wasiat adalah suatu perbuatan baik dengan memberikan hak kepada orang lain, b) wasiat itu berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Namun, di samping itu, dari definisi di atas terdapat juga beberapa perbedaan seperti ulama Malikiyyah lebih cenderung menekankan tentang jumlah wasiat yakni sepertiga harta, tanpa mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan (tabaru’). Definisi wasiat dalam rumusan ulama Syafi’iyyah hampir sama dengan definisi ulama Hanafiyyah namun lebih menekankan bahwa berlakunya wasiat setelah wafat si pewasiat. Ulama Hanabilah juga tidak mengungkapkan bahwa wasiat adalah perbuatan baik tanpa imbalan, yang membedakannya dengan transaksi jual beli, sedekah, dan lain-lain. Al-Sayyid al-Sabiq menggunakan kata hibah, tetapi yang dimaksudkannya adalah hibah yang berlaku setelah wafatnya si pemberi hibah. Sekalipun tidak mengungkapkan kalimat tanpa imbalan, namun dengan kata hibah sudah dapat dipahami bahwa wasiat adalah pemberian tanpa imbalan.

Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.[11] Pengungkapan kata “pewaris” dalam definisi ini, menurut penulis, kurang tepat karena wasiat tidak persis sama dengan warisan, semestinya diganti dengan “pewasiat”.

Dalam KUH Perdata, wasiat sering disebut dengan istilah testament. Namun demikian, ada perbedaan prinsipil antara wasiat menurut hukum Islam dengan testament, terutama yang menyangkut kriteria dan persyaratannya.

B. Dasar Hukum Wasiat

Menurut para ulama, hukum pelaksanaan wasiat telah diatur dalam al Qur`an, al Sunnah, dan Ijma`.

1. Ayat-ayat yang Berhubungan dengan Wasiat

Dalam al Qur`an, ketentuan tentang wasiat diungkap secara tegas dalam Q.S. al Baqarah (2) ayat : 180

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ(180)

Artinya : "Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meningggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma`ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa."

Selanjutnya, ketentuan wasiat ini juga terdapat dalam potongan ayat 11 dan 12 surat an-Nisa`. Dalam ayat 11 dinyatakan :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Artinya : "…sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya."

Berikutnya, ayat 12 surat an-Nisa` juga menegaskan hal yang sama :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Apabila dicermati lebih lanjut, ayat 11 surat an-Nisa` di atas secara khusus menunjukkan penegasan wasiat bagi kerabat, sedangkan ayat 12 menunjukkan bahwa waris sebagai hak yang baru diberikan setelah ditunaikan wasiat dan dibayarnya hutang. Namun, apabila memperhatikan hadits Nabi, maka pembayaran hutang lebih didahulukan daripada pelaksanaan wasiat ketika memutuskan perkara (mengadili).[12] Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut :

عن علي رضي الله عنه قال : إنكم تقرؤون هذه اللآ ية : (مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ) (النساء : 11) وأن النبي ص م قضي أن الدين قبل الوصية (رواه الترمذي)

Artinya : "Dari `Ali R.A. ia pernah berkata : Ketika kamu membaca ayat ini مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ) (النساء : 11)), Nabi SAW telah menentukan bahwa pembayaran hutang dilakukan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan wasiat."

Ketentuan mengenai wasiat ini juga diatur dalam Q.S. al Maidah (5) ayat 106 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang di antara kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu."

Berkenaan dengan surat al Baqarah ayat 180 yang menjadi dalil pokok wasiat, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tafsir dalam memahami ayat tersebut. Pada umumnya, masalah yang menjadi perhatian ulama tafsir dalam membahas ayat tersebut adalah :

a. Tentang kedudukan ayat, apakah masih muhkam atau telah mansukh, baik secara keseluruhan maupun sebagian;

b. Tentang hukum wasiat, apakah wajib atau sunat, dan bagaimana pula hukum berwasiat kepada selain kerabat. Pembicaraan dalam hal ini berkaitan erat dengan pembahasan tentang wasiat wajibah;

c. Tentang lafaz kutiba dan khairan, sedangkan lafaz walidan dan aqrabun kurang mendapat perhatian;

a. Tentang kedudukan ayat

Berkenaan dengan hal ini, Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H.)[13], mengutip dua pendapat yang berbeda dari Ibn Abbas. Pertama, kewajiban berwasiat sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 telah dihapuskan seluruhnya oleh ayat-ayat kewarisan yang berbunyi:

للر جا ل نصيب مما ترك الوا لدان و الاقربون و للنساء نصيب مما ترك الوالدان والاقربون مما قل منه او كثر نصيبا مفروضا (سورة النساء:7)

Artinya: Bagi laki-laki dan perempuan memiliki hak terhadap sebagian harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan secara pasti.

Kedua, Ibn Abbas berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat tentang kewarisan hanya me-nasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris yang memperoleh warisan. Terkait dengan hal tersebut, Ikrimah kemudian menyatakan bahwa surat al-Baqarah ayat 180 telah di-nasakh oleh ayat-ayat kewarisan.

Lebih lanjut, para mufassir yang berpendapat bahwa surat al-Baqarah ayat 180 telah di-nasakh, ternyata berbeda pendapat pula tentang dalil yang me-nasakh-kannya. Ibn Abbas, sebagaimana dikutip oleh al-Jashshash, menyatakan bahwa ayat-ayat tentang kewajiban berwasiat telah di-nasakh oleh surat al-Nisa’(4) ayat 7 di atas, sedangkan mufassir yang lain berpendapat bahwa ayat tentang kewajiban berwasiat telah di-nasakh oleh hadis Nabi SAW. yang berbunyi :

1. عن أبي أمامة الباهلي قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول في خطبته عام حجة الوداع إن الله قد أعطى لكل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه الترمذى)[14]

Artinya: Hadis diriwayatkan dari Amamah al-Bahiliy, dia telah berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda di dalam khutbahnya pada haji wada’: ”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris”.(H.R Turmuzi).

2. عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يجوز لوارث وصية الا ان يشاء الورثة (رواه الدار قطنى)[15]

Artinya: (Hadis diriwayatkan) dari Ibn Abbas dia berkata, Rasulullah telah bersabda: tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris kecuali disetujui oleh semua ahli waris. (H.R al-Daruquthni)

Tentang kedudukan ayat ini masih muhkam atau mansukh, al-Jashshash menjelaskan bahwa Allah telah mewajibkan pembagian warisan dan hal itu tidak mesti me-nasakh-kan kewajiban berwasiat disebabkan antara ayat-ayat tersebut ada kemungkinan (ihtimal) untuk digabungkan. Allah telah menurunkan ayat tentang kewajiban berwasiat lebih dahulu dari pada ayat-ayat tentang kewarisan. Oleh karena itu tidak ada larangan untuk mengeluarkan wasiat lebih dahulu dari warisan seperti disebutkan dalam surat al-Nisa (4) ayat 11 dan 12 [16] yang berbunyi :

Al-Jashshash membantah suatu pendapat yang menyatakan bahwa diberlakukan nasakh ketika adanya ihtimal antara nasakh dengan talfiq (menggabungkan) antara ayat-ayat warisan dan wasiat karena adanya hadis yang berbunyi لا وصيّة لوارث sebagai indikasi nasakh tersebut. Menurut al-Jashshash, hadis ini munqathi’[17]. Oleh sebab itu, tidak dapat dijadikan sebagai indikasi pe-nasakh-an ayat-ayat tentang wasiat oleh ayat-ayat tentang kewarisan dalam al-Quran.

Selanjutnya al-Jashshash menegaskan, apabila terdapat nasakh dan mansukh pada ayat tersebut, maka hal itu hanya terjadi dalam kewajiban berwasiat kepada kerabat yang mendapat bagian warisan, sedangkan bagi kerabat yang tidak mendapat bagian warisan karena adanya mani’ al-syar’i, hukum berwasiat tetap wajib (muhkam) berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180. Dalil yang me-nasakh-kan kewajiban wasiat khusus terhadap kerabat yang telah mendapat bagian warisan, menurut al-Jashshash adalah ayat kewarisan yang berbunyi:

من بعد وصية يوصى بها أو دين (سورة النساء: 11)[18]

Ibn Katsir (w. 774 H.)[19], menyatakan bahwa surat al-Baqarah ayat 180 mengandung perintah wajib berwasiat sebelum turunnya ayat-ayat tentang kewarisan. Setelah turunnya ayat-ayat tentang kewarisan yang menetapkan pembagian warisan secara rinci, maka kewajiban berwasiat dihapuskan khususnya terhadap orang tua dan karib kerabat yang mendapat warisan. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ayat-ayat kewarisan tidak me-nasakh hukum berwasiat secara keseluruhan, tetapi hanya mengangkatkan sebagian afrad (materi) kewajiban wasiat yang bersifat umum. Oleh karena itu ayat-ayat kewarisan hanya mengangkat hukum wasiat terhadap orang-orang yang mendapat warisan saja.

Ibn Katsir mengutip pendapat al-Razi dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-Kabir, bahwa menurut Abu Muslim al-Ashfihani, ayat tentang kewajiban berwasiat tidak mansukh, tetapi tetap muhkam dan ditafsirkan oleh ayat-ayat tentang kewarisan, sehingga maknanya adalah

كتب عليكم ما اوصى الله به من توريث الوالدين والأقربين من قوله يوصيكم الله فى اولادكم مثل حظ الأنثيين.[20]

Artinya: Diwajibkan kepadamu sesuatu yang telah diwajibkan Allah, yakni tentang kewarisan kedua orangtua dan para kerabat berdasarkan firman-Nya “Allah telah mewajibkan kepadamu untuk memberikan kepada anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Al-Razi menyatakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas mufassir dan populer di kalangan fuqaha’, akan tetapi menurut Ibn Abbas, Hasan, Masruq, Thawus, Dhahak dan lain-lain, ayat ini mansukh terhadap ahli waris yang mendapat warisan, dan tetap muhkam bagi kerabat yang tidak memperoleh warisan. Sebagian ulama lain tidak bersedia menyebutnya sebagai nasakh karena yang diangkat oleh ayat-ayat kewarisan hanya sebagian afrad dari ayat wasiat yang bersifat umum bukan seluruhnya. Oleh sebab itu, kewajiban berwasiat tetap wajib hukumnya terhadap orang-orang yang tidak menerima warisan[21].

Al-Thabariy (w. 310 H.), dalam kitabnya Jami’ al-Bayan, menafsirkan surat al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut:

فرض عليكم ياايها المؤمنين الوصية، اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا. والخير المال، للوالدين و الاقربين الذين لا ترثون بالمعروف وهوماأذن الله فيه وأجازه فى الوصية ممالم يجاوز الثلث ولم الموصى ظلم ورثته، حقا على المتقين يعنى بذلك. فرض عليكم هذا وأوجبه، وجعله حقا واجبا على من اتقى الله فاطاعه أن يعمل به. [22]

Artinya: Diwajibkan kepadamu hai orang-orang mukmin untuk berwasiat apabila salah seorang dari kamu hampir meninggal dunia sedang dia memiliki khairan, dan al-khair artinya harta, untuk (diberikan kepada) orangtua dan karib kerabat yang tidak menerima warisan, secara baik (ma’ruf). Hal itu merupakan sesuatu yang telah diizinkan Allah dan dibolehkannya dalam berwasiat, selama tidak melebihi sepertiga harta dan orang yang berwasiat tidak berbuat zalim terhadap ahli warisnya. Dan hal itu merupakan kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. Telah diwajibkan kepadamu hal ini dan Allah menjadikannya sebagai suatu ketentuan yang wajib bagi orang yang bertaqwa kepada-Nya, agar dia menta’ati Allah dan melaksanakannya.

Al-Thabari menjelaskan bahwa hukum berwasiat adalah wajib berdasarkan lafaz amar (kutiba). Apabila seseorang lalai berwasiat, maka wasiat tersebut wajib dikeluarkan oleh ahli warisnya. Al-Thabari tidak sependapat bahwa ayat wasiat telah di-nasakh oleh ayat kewarisan karena antara keduanya terdapat kemungkinan (ihtimal) untuk dikumpulkan, sedangkan antara nasikh dan mansukh tidak mungkin dikumpulkan dalam satu keadaan. Adapun untuk mengumpulkan keduanya maka ayat wasiat ini mesti dipahami hanya ditujukan kepada orang tua dan kerabat yang tidak memperoleh warisan. Dengan demikian, menurut al-Thabari masing-masing ayat tersebut (tentang wasiat dan warisan) mempunyai sasaran yang berbeda. Dalam hal ini, al-Thabari membantah pemakaian istilah nasakh terhadap ayat wasiat oleh ayat kewarisan dan sependapat bahwa hukum wajib wasiat itu hanya terhadap al-walidain dan al-aqrabun yang tidak memperoleh bagian warisan.

Ibn al-‘Arabi[23] (467H.-543H.) dalam menanggapi perbedaan pendapat ulama tentang muhkam atau mansukh-nya surat al-Baqarah ayat 180 tersebut, menegaskan pendapatnya bahwa ayat tersebut adalah mansukh, tetapi hukumnya sunat (anjuran saja), berdasarkan zahir hadis Ibn Umar yang berbunyi:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم قال ما حق امرئ مسلم يبيت ليلتين وله شيء يوصي فيه إلا ووصيته مكتوبة عنده.[24]

Artinya : Hadis diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tidak berhak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang (pantas untuk) diwasiatkan dan ia masih mempunyai kesempatan hidup selama dua malam melainkan hendaklah ia mempunyai wasiat yang ditulis”.

Lafaz al-haq dalam hadis Ibn Umar di atas, menurut Ibn al-’Arabi, berarti anjuran saja[25]. Dengan demikian, Ibn al-’Arabi memandang bahwa wasiat adalah perbuatan yang tidak wajib dan hanya perbuatan baik yang dianjurkann saja. Akan tetapi Rasyid Ridha[26], menjelaskan bahwa surat al-Baqarah ayat 180 adalah muhkam, bukan mansukh. Beliau mengartikan ayat tersebut sebagai berikut:

كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت اى فرض عليكم يامعشر المؤ منين اذا حضرت الواحدمنكم اسباب الموت وعلامته، ان ترك خيرا اى ان كان له مال كثير يتركه لورثته، الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف اى كتب عليكم فى هذه الحالة ان توصوا للوالدين والأقربين بشيئ من هذه الخير بالوجه المعروف الذى لا يستنكر لقلته بالنسبة الى ذلك الخير ولا بكثرته الضارة بالورثة بأن لا يزيد الموصى به لهم ولغيرهم من الاجانب عن ثلث المتروك للوارثين.

Artinya : Diwajibkan kepadamu apabila salah seorang kamu hampir wafat artinya diwajibkan kepadamu hai orang-orang mukmin apabila salah seorang kamu ditimpa oleh sebab-sebab atau tanda-tanda kematian, jika meninggalkan harta artinya jika dia memiliki harta yang banyak yang ditinggalkan buat ahli warisnya, wasiat untuk orangtua dan karib kerabat secara baik artinya diwajibkan kepadamu dalam keadaan ini untuk berwasiat kepada orangtua dan karib kerabat terhadap sebagian harta (yang banyak) itu dengan cara yang baik, dan tidak dianggap ingkar bila harta itu sedikit berdasarkan kalimat al-khairi (harta yang banyak) dan tidak menimbulkan kemudharatan bagi harta waris karena pewasiat banyak berwasiat dan tidak melebihkan wasiat itu dari sepertiga harta peninggalan kepada orangtua dan kerabat yang lain.

Kelihatannya Ridha menghubungkan kewajiban berwasiat itu dengan jumlah harta. Menurut Ridha, kewajiban berwasiat itu tetap ada (muhkam) dan hanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki harta yang banyak (berdasarkan lafaz khairan), dan hanya dalam batas maksimal sepertiga harta peninggalan serta tidak memberi mudharat (tidak merugikan) kepada ahli waris.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa pendapat ulama yang saling berbeda, yaitu:

1) Ayat wasiat telah di-nasakh seluruhnya oleh ayat-ayat kewarisan, oleh karena itu tidak ada lagi kewajiban berwasiat, walaupun demikian apabila dilakukan maka hukumnya adalah sunat.

2) Ayat wasiat tetap berlaku (muhkam), tetapi hanya ditujukan kepada sebagian ahli waris yang tidak memperoleh warisan, baik harta itu banyak atau sedikit.

3) Ayat wasiat tetap berlaku (muhkam), yang diwajibkan kepada orang yang memiliki harta yang banyak saja dan diberikan kepada sebagian ahli waris yang tidak memperoleh warisan.

Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang ketiga, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, dengan alasan bahwa:

a) Surat al-Baqarah ayat 180 dapat dikompromikan dengan ayat-ayat kewarisan dengan melihatnya sebagai ketentuan yang masing-masing memiliki sasaran yang berbeda. Ayat-ayat tentang kewarisan mengkhususkan ketentuan wasiat yang bersifat umum.

b) Dalam ayat-ayat kewarisan surat al-Nisa’ (4) : 11-12 Allah menyatakan:...min ba’di washiyyatin au dainin.... Apabila ayat wasiat telah dihapuskan, semestinya dalam ayat-ayat kewarisan Allah tidak akan mengungkapkan kembali kalimat tersebut.

c) Wasiat itu wajib ditunaikan oleh setiap orang yang memiliki harta yang banyak. Alasannya bahwa kalimat khairan berarti harta yang banyak dan penentuan banyaknya harta sangat relatif dan tergantung kepada kebiasaan masyarakat (‘urf). Di samping itu, kewajiban lain yang berhubungan dengan harta selalu dikaitkan dengan jumlah tertentu, seperti zakat baru wajib apabila harta sampai senisab.

d) Ada hadis Nabi SAW. yang menyatakan bahwa tidak boleh berwasiat kepada ahli waris menguatkan bahwa wasiat hanya wajib kepada orantua dan kerabat yang tidak mendapat warisan, baik karena terhijab, atau tidak seagama dan lain-lain.

2. Hadits-hadits yang Berhubungan dengan Wasiat

Dalil hukum disyari`atkannya wasiat juga diatur dalam beberapa hadits, di antaranya :

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله ص م قال : ما حقّ امرئ مسلم له شئ يوصي فيه يبيت ليلتين إلاّ ووصيّته مكتوبة عنده (رواه البخاري و مسلم و ابو داود و الترمذي و النسائ و الدارمي) [27]

Artinya : Dari Abdullah ibn Umar R.A. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : "Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki sesuatu yang (pantas untuk) diwasiatkan dan ia masih mempunyai kesempatan hidup selama dua malam melainkan (hendaklah) ia mempunyai wasiat yang ditulis." (H.R. Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, al Turmudziy, al Nasa`i, dan al Darimiy)

عن ابي أمامة الباهلى قال : سمعت رسول الله ص م يقول فى خطبته عام حجّة الوداع : إنّ الله تبارك و تعالى قد أعطى كلّ ذى حقّ حقّه فلا وصيّة لوارث [28]

Artinya : Dari Abi Umamah al Bahiliy ia pernah berkata : "Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda di dalam khutbahnya pada waktu haji Wada`", "Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta`ala telah memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris." (H.R. al Turmudziy dan Abu Dawud)

عن عامر بن سعد عن ابيه قال عادني رسول الله ص م في حجّه الوداع من وجع اشفيت منه على الموت فقلت يا رسول الله بلغنى ما ترى من الوجع و انا ذو مال و لا يرثنى إلاّ ابنة لى واحدة أفأتصدق بثلثى مالى قال لا قال قلت أفأتصدق بشطره قال لا الثلث و الثلث كثير إنّك أن تذر و رثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس (رواه مسلم) [29]

Artinya : Dari `Amir ibn Sa`ad dari ayahnya, ia pernah berkata, "Rasulullah SAW pernah pada waktu haji Wada` mengunjungi saya waktu saya sakit yang bakal membawa mati saya, lalu saya bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, sudah sampai pada diri saya sakit seperti yang telah engkau lihat sendiri sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang bakal mewarisi saya kecuali anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiga harta saya ini?" Beliau bersabda : "Tidak". Saya bertanya lagi, "Saya sedekahkan setengahnya ?" Beliau bersabda : "Tidak, sepertiga dan sepertiga itu banyak". Sesungguhnya kamu meningggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta kepada orang lain." (H.R. Muslim)

Dalil tentang bolehnya melaksanakan wasiat juga disandarkan kepada ijma` para ulama. Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syari`at Allah dan Rasul-Nya. Hal ini didasarkan pada ayat-ayat dan hadits di atas[30] yang mengedepankan urgensi pelaksanaan wasiat, tidak hanya bagi orang yang berwasiat, tetapi juga bagi penerima wasiat dan ahli waris yang akan ditinggalkan. Dengan demikian, di samping sebagai sedekah yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, wasiat juga menjadi salah satu cara pemerataan harta peninggalan bagi mereka yang tidak mendapatkan hak waris sedangkan mereka adalah kerabat dekat.

C. Rukun dan Syarat Wasiat

Berkenaan dengan rukun dan syarat wasiat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat ini agaknya disebabkan oleh cara pandang mereka dalam menentukan apakah wasiat merupakan tindakan hukum yang bisa sah dan berlaku secara sepihak tanpa keterlibatan pihak yang menerima atau bersifat sebaliknya. Hal ini antara lain terlihat dari pendapat ulama dari kalangan Hanafiyah yang menyebutkan bahwa rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan menyerahkan) wasiat dari pewasiat, sedangkan qabul (pernyataan menerima) tidak termasuk ke dalam rukun wasiat, melainkan merupakan bagian dari syarat wasiat.[31]

Argumentasi yang digunakan oleh para ulama Hanafiyah ini didasarkan pada anggapan bahwa wasiat adalah aqad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat sedangkan bagi pihak penerima wasiat, aqad tersebut tidak bersifat mengikat. Dalam hal ini mereka menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia. Oleh karena itu, qabul tidak diperlukan sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.[32] Namun qabul tetap menjadi salah satu syarat dalam wasiat. Hal senada juga dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh al Sunnah.[33]

Berbeda dengan pendapat ulama dari kalangan Hanafiyah, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun wasiat terbagi empat, yaitu 1) الموصي (orang yang berwasiat), 2) الموصى له (orang yang menerima wasiat), 3) الموصى به (objek wasiat), dan 4) صيغة (redaksi) wasiat.[34]

Selanjutnya, berdasarkan rukun wasiat yang telah dikemukakan di atas, maka para ulama fiqh kemudian menetapkan syarat-syarat wasiat, yaitu :

1. الموصي (orang yang berwasiat).

Dalam merumuskan syarat الموصي (orang yang berwasiat), para ulama ada yang membaginya menjadi dua, yaitu syarat sah dan syarat wajib.

a. Syarat sah الموصي adalah

1) Orang yang berwasiat merupakan orang yang sudah biasa berbuat baik atau al tabarru` [35] (berbuat tanpa adanya imbalan duniawi) dan orang tersebut haruslah seorang mukallaf (baligh berakal), merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, serta muslim ataupun kafir.

Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat haruslah orang yang berakal. Dengan demikian, tidak sah wasiat yang dilakukan oleh orang gila, dungu, dan orang pingsan karena ucapan mereka tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang mempunyai kekuatan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, para ulama juga sepakat tentang adanya syarat bahwa orang yang berwasiat haruslah orang yang merdeka. Oleh karena itu, tidak dipandang sah, wasiat yang dilakukan oleh budak karena wasiat merupakan perbuatan tabarru` sedangkan budak tidak tergolong kepada ahl al tabarru` (orang yang biasa berbuat tanpa adanya imbalan duniawi) sebab budak tidak memiliki apapun.[36]

Namun, dalam hal adanya syarat baligh bagi orang yang berwasiat, maka para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena baligh memiliki kaitan yang cukup erat dengan kepemilikan dan keabsahan mentasarufkan (mempergunakan) harta yang dimiliki. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah, baligh merupakan salah satu syarat sahnya wasiat. Dengan demikian, tidak sah wasiat yang dilakukan oleh anak-anak, baik anak tersebut telah mumayyiz maupun belum mumayyiz, walaupun anak yang mumayyiz tersebut diperbolehkan dalam melakukan transaksi jual beli. Hal ini karena wasiat merupakan aqad tabarru` (pemindahan harta secara sukarela, tanpa imbalan). [37]

Sebaliknya, ulama dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa wasiat boleh dilakukan oleh anak mumayyiz yaitu anak yang berumur 10 tahun. Pendapat ini didasarkan pada riwayat `Umar ibn al Khaththab yang memperbolehkan wasiat anak yang baru berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30 dirham.[38]

Selanjutnya ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wasiat orang yang berada di bawah pengampuan disebabkan permasalahan harta, seperti orang yang mubazir terhadap harta atau orang bodoh adalah sah karena keadaan diri mereka yang kurang sempurna. Namun, wasiat orang yang dinyatakan berada di bawah pengampuan karena pailit, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Mazhab Syafi`i dan Mazhab Hanbali, dalam kondisi yang demikian, wasiat dilakukannya tidak sah kecuali apabila disetujui oleh orang yang memberinya utang. Sebaliknya, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, hukumnya tetap sah karena wasiat tersebut baru bisa ditunaikan apabila utang-utang orang yang berwasiat tersebut dilunasi terlebih dahulu.[39]

Dalam hal wasiat yang dilakukan oleh orang kafir, maka para ulama sepakat menganggapnya sah, walaupun orang yang berwasiat tersebut adalah kafir harbi[40] karena beragama Islam tidak menjadi syarat sah wasiat.[41]

2) Wasiat tersebut dilakukan secara sadar dan sukarela. Oleh sebab itu, orang yang dipaksa untuk berwasiat atau tersalah (tidak sengaja) dalam berwasiat, maka wasiatnya dianggap tidak sah. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.[42]

b. Syarat Wajib الموصي adalah bahwa dia tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak harta yang ditinggalkannya. Syarat ini dikemukakan ulama fiqh karena wasiat baru bisa ditunaikan ahli waris apabila seluruh utang orang yang berwasiat itu telah dibayarkan.[43] Dengan demikian, apabila utang orang yang berwasiat tersebut meliputi seluruh harta yang ia tinggalkan, maka wasiat yang ia buat tidak ada gunanya karena hartanya habis untuk membayar utang.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa para ulama menyepakati syarat-syarat orang yang berwasiat pada dasarnya mencakup 3 hal, yaitu :

1) Baligh dan berakal karena wasiat merupakan aqad tabarru`.

2) Wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela serta tidak berada dalam kondisi terpaksa.

3) Orang yang berwasiat tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak harta yang akan ditinggalkan.

2. الموصى له (orang yang menerima wasiat)

Pada dasarnya, ulama fiqh menetapkan syarat bahwa wasiat ditujukan untuk kepentingan umum, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan kemasyaratan atau untuk pribadi tertentu. Dalam kaitan ini, para ulama fiqh menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga atau pribadi penerima wasiat tersebut adalah

a. Benar-benar ada

b. Identitasnya jelas/diketahui

Dalam hal ini, keberadaan penerima wasiat harus jelas, maksudnya penerima wasiat harus sudah ada atau masih hidup secara nyata atau diperkirakan sudah/masih hidup ketika wasiat diikrarkan. Termasuk dalam konteks ini adalah badan hukum, apabila berada dalam posisi sebagai penerima wasiat. Dengan demikian, wasiat kepada orang yang tidak ada, maka hukumnya tidak sah karena wasiat wasiat merupakan aqad kepemilikan. Oleh karena itu, penerima wasiat harus jelas keberadaannya dan jelas pula identitasnya.

Berkenaan dengan hal ini, para ulama sepakat membolehkan wasiat kepada bayi yang masih berada dalam kandungan. Namun, masing-masingnya menetapkan kriteria tersendiri yang harus dipenuhi, sehingga wasiat tersebut dianggap sah. Menurut ulama dari kalangan Hanafiyah, usia bayi dalam kandungan tersebut minimal 6 bulan ketika wasiat tersebut diikrarkan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa usia minimal 6 bulan tersebut dihitung dari waktu meninggalnya pemberi wasiat.[44]

Sedangkan ulama dari kalangan Malikiyah hanya menekankan penerima wasiat harus sudah ada ketika wasiat dikrarkan atau keberadaannya masih ditunggu, seperti bayi dalam kandungan. Dalam hal ini, terlihat ulama Malikiyah tidak memberikan batasan tertentu, tetapi hanya menyebutkan bahwa kondisi bayi tersebut jelas akan ada/lahir.[45]

c. Orang/lembaga yang cakap menerima hak/milik

Senada dengan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh الموصي (orang yang berwasiat) yaitu harus cakap dalam bertindak hukum, maka demikian juga dengan syarat الموصى له (penerima wasiat). Hal ini dapat dipahami, karena keberadaan wasiat bagi الموصى له sangat terkait dengan kemampuan men-tasarruf-kan harta yangtelah diwasiatkan.

d. Penerima wasiat bukan kafir harbi yang memusuhi Islam[46]

Syarat di atas merupakan pendapat ulama dari kalangan Malikiyah, sedangkan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa penerima wasiat bukanlah kafir harbi yang berada di Dar al Harbi. Menurut ulama Syafi`iyah, penerima wasiat tidak mewasiatkan untuk berdamai dengan ahl al harbiy.

e. Penerima wasiat bukanlah orang yang membunuh pewasiat

Berkenaan dengan hal ini, ulama dari kalangan Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan dalam pengertian ini adalah pembunuhan secara langsung, baik secara sengaja ataupun tidak. Namun, apabila pembunuhan tersebut terjadi tidak secara langsung, maka hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan wasiat. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : [47]

من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرماته

"Siapa saja yang ingin segera mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak akan mendapatkan barang tersebut."

f. Bukan ahli waris pemberi wasiat[48]

Dalam pelaksanaan wasiat, fuqaha` juga memberikan syarat bahwa orang yang menerima wasiat bukanlah salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkan. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

إنّ الله قد أعطي لكلّ ذي حقّ حقّه فلا وصيّة لوارث (رواه الترمذي)[49]

Artinya : "Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang yang berhak atas haknya, karena itu maka tidak boleh lagi berwasiat untuk orang yang akan menerima wasiat." (H.R. al Turmudzi)

Menurut para ahli fiqh, larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan bagian kewarisannya ditujukan agar tidak ada kesan bahwa wasiat menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang dapat menimbulkan perselisihan keluarga.

g. Wasiat tidak ditujukan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam atau untuk maksiat seperti berwasiat kepada orang fasik untuk menyebarluaskan kefasikannya atau berwasiat untuk mendirikan tempat yang digunakan untuk melakukan maksiat. Wasiat seperti ini menurut ulama Hanafiyah dianggap batal.[50]

3. الموصى به (objek wasiat)

Pada dasarnya, objek wasiat mencakup dua bentuk, yaitu benda dan manfaat. Terkait dengan hal ini, para ulama fiqh menyatakan bahwa objek wasiat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu [51]:

a. Objek wasiat merupakan sesuatu yang bernilai harta dalam syara` karena wasiat merupakan aqad kepemilikan, sedangkan sesuatu yang tidak bernilai harta, tidak dapat dimiliki. Dalam hal ini, objek wasiat yang bernilai harta bisa saja berbentuk mata uang, barang tetap dan bergerak, pohon-pohon, barang-barang yang dapat diperdagangkan, binatang, pakaian dan sebagainya, hutang yang menjadi tanggungan, hak-hak yang berkaitan dengan harta, dan manfaat.[52]

b. Objek wasiat merupakan sesuatu yang mutaqawwim (bernilai harta menurut ketentuan syara`). Dengan demikian, tidak sah berwasiat dengan harta yang ghair mutaqawwim (harta yang tidak boleh dimanfaatkan secara syar`i), seperti khamar, babi, anjing, dan lain-lain karena harta yang demikian dianggap tidak ada manfaatnya dalam pandangan Islam. Namun, terkait dengan hal ini, ulama Hanafiyah, Syafi`iyyah dan Hanabilah memberikan pandangan yang berbeda. Menurut mereka, mewasiatkan harta yang ghair mutaqawwim, seperti anjing yang terlatih dan binatang yang dapat digunakan untuk berburu dibolehkan karena adanya manfaat. [53]

c. Objek wasiat tersebut jelas merupakan milik pewasiat ketika wasiat diucapkan. Oleh karena itu, tidak sah mewasiatkan benda milik orang lain.

d. Objek yang diwasiatkan tidak ditujukan untuk perbuatan maksiat atau yang diharamkan secara syar`i.

e. Harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan, apabila pewasiat mempunyai ahli waris karena menurut kesepakatan ulama, dalam kondisi yang demikian, maka wajib mengurangi jumlah wasiat dari sepertiga jumlah harta peninggalan. Namun, apabila ahli waris mengizinkan wasiat dengan jumlah lebih dari sepertiga harta, maka hal itu dibolehkan.

4. صيغة (redaksi) wasiat

صيغة (redaksi) wasiat mencakup ijab dan qabul. Berkenaan dengan hal ini, ulama fiqh menetapkan bahwa ijab dan qabul yang dipergunakan dalam wasiat harus jelas. Namun, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang adanya qabul dari penerima wasiat. Perbedaan pendapat ini terjadi karena wasiat merupakan pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain tanpa imbalan apapun. Oleh karena itu, sebagian ulama menganggap tidak perlu adanya qabul. Di samping itu, dalil-dalil yang ada, baik dari al Qur`an maupun hadits sama sekali tidak menyinggung tentang orang yang akan menerima wasiat.[54]

Terkait dengan hal ini, Imam al Syafi`i lebih condong pada pendapat bahwa qabul dari pihak penerima wasiat tidak perlu ada. Beliau mengiaskan wasiat dengan waris, bahkan beliau menyatakan bahwa qabul dari pihak penerima wasiat bukan merupakan syarat sahnya wasiat. Sebaliknya, Imam Malik menetapkan adanya qabul dalam wasiat karena beliau mengiaskan wasiat dengan hibah dan perikatan yang lain. Sedangkan dalam mazhab Hanafi, qabul dianggap tidak ada, apabila dilakukan sebelum pewasiat meninggal dunia alasannya karena pewasiat dapat saja mencabut wasiatnya kapan saja ia menghendaki. [55]

Lebih lanjut, Jumhur ulama menetapkan bahwa keberadaan qabul tidak menjadi suatu keharusan, apabila wasiat itu ditujukan untuk kepentingan umum yang identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat, seperti masjid dan anak-anak yatim. Akan tetapi, apabila orang yang akan menerima wasiat itu sudah jelas atau tertentu, maka diperlukan qabul dari orang yang menerima wasiat atau wakilnya setelah pewasiat meninggal dunia, kecuali bayi yang masih dalam kandungan ibunya. Untuk bayi ini, wasiat sah tanpa adanya qabul.[56]

صيغة berupa ijab dan qabul yang dipergunakan untuk mengungkapkan wasiat dapat disampaikan secara lisan, tulisan maupun isyarat yang bisa dipahami. Selain itu, keberadaan dua orang saksi juga diperlukan agar tidak terjadi manipulasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan surat al Baqarah ayat 282 yang menegaskan perlunya ada kesaksian dalam mu`amalah. Dalam hal ini, wasiat termasuk dalam bentuk mu`amalah. Oleh karena itu, apabila wasiat dilakukan secara lisan, maka mutlak diperlukan adanya saksi.

Adapun wasiat yang melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat tersebut bisu dan tidak bisa tulis baca. Namun, sebaliknya, jika orang yang berwasiat mampu tulis baca, maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi`i, wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat itu mampu untuk berbicara dan tulis baca.[57]

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur masalah ini secara teknis. Pasal 195 ayat (1) dinyatakan bahwa wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris. Selanjutnya dalam Pasal 203 ditambahkan :

(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.

(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199, maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

D. Tinjauan Para Ulama tentang Hukum Wasiat

Berkenaan dengan hukum wasiat, para ulama memberikan pandangan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pemahaman mereka. Pada dasarnya, pembahasan ini tidak hanya dikupas oleh para ahli fiqh, tetapi juga dikaji oleh para ulama tafsir. Hasil penalaran ulama tafsir ini terlihat dari adanya bahasan tentang hukum wasiat yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir.

Namun, apabila dicermati, hasil penalaran ulama tafsir di sini tidak persis sama dengan hasil penalaran ulama fikih. Para ahli fikih dalam menetapkan hukum melakukan penalaran hukum berdasarkan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam ushul fiqh, sedangkan uraian ahli tafsir tentang hukum wasiat di sini semata-mata berdasarkan kaidah bahasa dan munasabah ayat sebagaimana yang terdapat dalam teori ilmu tafsir.

1. Penalaran Ulama Tafsir

Merujuk kepada beberapa kitab tafsir yang ada, terlihat adanya perbedaan pendapat di kalangan para mufassir terkait dengan hukum berwasiat. Satu golongan mufassir berpendapat bahwa hukum berwasiat tidak wajib. Hal ini didasarkan pada konteks surat al-Baqarah ayat 180 yang dilihat dari tiga sisi :[58]

a. Ungkapan بالمعروف menunjukkan bahwa wasiat itu tidak wajib, tetapi sekedar perbuatan baik (ma’ruf).

b. Dari ungkapan المتقين على menunjukkan bahwa wasiat itu hanya dianjurkan bagi orang yang bertaqwa sebab dalam kenyataannya tidak semua manusia bertaqwa.

c. Sekiranya memang wajib, maka kewajiban tersebut hanya khusus bagi orang yang bertaqwa sebagaimana ungkapan المتقين حقا على

Namun, menurut al Jashshash, pendapat yang menyatakan bahwa hukum wasiat tidak wajib berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas sangat lemah. Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi, yakni :

a. Kata باالمعروف tidak dapat me-nafi-kan kewajiban berwasiat. Kata bi al-ma’ruf dalam ayat tersebut bermakna bi al-’adl, tidak melebihkan dan tidak pula mengurangi. Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan kata-kata bi al-ma’ruf yang justru menunjukkan arti wajib seperti:

1. و على المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف...(سورة البقرة:233)

2. وعاشرو هن بالمعروف...(سورة النساء: 19)

3. وأمر بالمعروف ونهى عن المنكر ...(سورة الحج:41)

Akan tetapi, di kalangan mufassir tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa kata-kata bi al-ma’ruf dalam ayat-ayat di atas menunjukkan wajib.

­b. Ungkapan حقا على المتقين merupakan ta’kid (penguat) bahwa hukum berwasiat adalah wajib. Kewajiban seluruh manusia untuk bertaqwa kepada Allah, sebagaimana firmanNya dalam surat Ali Imran ayat 103.

c. Pengkhususan kepada orang yang bertaqwa sebagaimana dalam teks ayat di atas bukan berarti meniadakan kewajiban bagi orang-orang yang tidak bertaqwa. Pengkhususan tersebut menunjukkan bahwa perbuatan berwasiat merupakan perwujudan ketaqwaan kepada Allah SWT. [59]

Berkenaan dengan hukum berwasiat kepada selain kerabat, al-Jashshash berpendapat bahwa wasiat kepada selain kerabat tidak dibolehkan apabila masih ada kerabat (al-aqrabin) yang lain, karena zahir nash memerintahkan agar wasiat diberikan kepada orang tua dan kerabat. Apabila seseorang mewasiatkan sepertiga hartanya kepada selain kerabat, maka dua pertiga dari harta wasiat tersebut harus diberikan kepada kerabatnya yang ada. Berbeda dengan pendapat di atas, menurut pendapat al-Dhahak dan segolongan ulama lain, seluruh wasiat tersebut mesti diserahkan kepada kerabatnya karena pada prinsipnya harta wasiat itu adalah hak mereka.[60] Sedangkan siapa-siapa saja yang termasuk ke dalam kategori aqrabun juga tidak dijelaskan oleh mufassir secara tegas.

Selanjutnya, dalam kajian tafsir, lafaz kutiba dan khairan dalam surat al Baqarah ayat 180 juga memicu terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa lafaz kutiba dalam surat al-Baqarah ayat 180 menunjukan arti wajib. Menurut al-Jashshash, indikasi wajib tersebut dikuatkan lagi oleh kalimat “haqqan ‘ala al-muttaqin”. Dalalah wajib tersebut hanya ditujukan untuk diberikan kepada al-walidain dan al-aqrabun yang tidak memperoleh harta warisan. Menurut al-Thabariy, makna lafaz kutiba pada ayat 180 surat al-Baqarah tersebut sama dengan makna lafaz kutiba yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 185 (tentang puasa) yang menunjukkan arti wajib.

Adapun lafaz khairan menurut mayoritas ulama tafsir maknanya adalah maalan (harta)[61]. Para ulama, sebagaimana dijelaskan oleh al-Jashshash, telah berbeda pendapat tentang jumlah harta yang menyebabkan wajibnya wasiat. Menurut Ali ibn Abi Thalib, jumlah harta yang menyebabkan wajibnya wasiat adalah enam ratus sampai tujuh ratus dirham, dan dalam riwayatnya yang lain empat ribu dirham. Adapun menurut satu riwayat dari `Aisyah bahwa adanya kewajiban wasiat itu apabila harta yang ditinggalkan itu berjumlah empat ribu dirham atau lebih. Namun, menurut al-Jashshash, yang lebih tepat adalah berdasarkan ijtihad dan melihat kepada ‘urf suatu masyarakat.[62]

Menurut al-Zuhri dan sebagian ulama lain, khairan maksudnya adalah harta yang ditinggalkan, baik sedikit atau banyak. Kewajiban wasiat sama sekali tidak berkaitan dengan jumlah harta yang ditinggalkan, tetapi apabila seseorang meninggalkan harta, maka wajib baginya untuk mewasiatkan hartanya kepada orang tua dan kerabat yang tidak memperoleh warisan karena adanya halangan syara’.

2. Penalaran Jumhur Ulama Fiqh

Mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa pada dasarnya lafaz kutiba dalam surat al-Baqarah ayat 180 adalah amar (perintah) yang menunjukkan wajib.[63] Namun karena adanya beberapa qarinah (indikasi/petunjuk), maka wajib tersebut dipalingkan kepada makna lain. Indikasi tersebut adalah

1) Adanya ayat-ayat tentang kewarisan yang telah secara rinci menentukan hak dan bagian kewarisan orang tua dan anggota kerabat lainnya. Dengan adanya ayat-ayat ini, maka kewajiban berwasiat kepada orang tua dan kerabat lainnya tidak relevan lagi karena telah di-nasakh-kan.

2) Hadis shahih yang menyatakan bahwa tidak boleh berwasiat kepada ahli waris (la washiyyata li waritsin).

3) Kenyataan sejarah bahwa Rasulullah dan para Sahabat tidak pernah berwasiat untuk anggota kerabatnya[64].

Berdasarkan ketiga qarinah tersebut, maka jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa ayat di atas tidak dapat lagi dipegangi secara harfiyah. Apabila dikaitkan dengan hadits shahih la washiyata li waritsin, maka kata kutiba dalam surat al Baqarah ayat 180 tersebut, tidak lagi diartikan wajib. Sebaliknya berdasarkan hadits tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah wasiat yang ditujukan kepada ahli waris. Namun, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum wasiat kepada ahli waris dianggap sah, dengan syarat adanya keridhaan ahli waris yang lain. Dengan demikian, walaupun keberadaan hadits tersebut telah me-nasakh-kan hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris, namun hal ini bukan berarti me-nasakh-kan kebolehannya.[65]

Menurut ulama Hanafiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Abd. al-Rahman al-Jaziry,[66] firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu telah di-nasakh-kan oleh ayat-ayat kewarisan. Surat al-Baqarah ayat 180 tersebut hanya memuat ketentuan hukum yang bersifat sementara untuk memberikan wasiat kepada orang tua dan karib kerabat, sebelum ayat-ayat kewarisan diturunkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setelah turunnya ayat-ayat yang secara khusus berbicara tentang kewarisan, maka kewajiban berwasiat kepada ahli waris tidak berlaku lagi.

Walaupun demikian, ulama Hanafiyah membagi hukum wasiat itu kepada empat bagian[67]: (a) wajib, apabila wasiat itu berhubungan dengan hak-hak yang berada di bawah pengawasannya, seperti mengembalikan barang-barang yang dipinjam atau membayar hutang. Apabila dia tidak melakukan wasiat sehingga menyebabkan barang-barang yang di bawah pengawasannya tersebut hancur atau rusak, maka dia akan berdosa. (b) Sunat, apabila wasiat itu berhubungan dengan hak-hak Allah, seperti wasiat untuk membayarkan kafarat, shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. (c) Makruh tahrim[68], apabila wasiat tersebut diberikan kepada orang fasiq. (d) Mubah, apabila wasiat diberikan kepada karib kerabat atau orang lain yang kaya.

Menurut Imam al-Syafi’i,[69] hukum berwasiat adalah sunat karena telah terjadinya nasikh dan mansukh antara ayat wasiat dengan ayat-ayat kewarisan. Ayat tentang wasiat (al-Baqarah ayat 180) diturunkan lebih dahulu dari ayat-ayat tentang kewarisan, dan keduanya mencakup persoalan yang sama, yakni pemberian sebagian harta peninggalan kepada orang tua dan karib kerabat. Petunjuk (dilalah) adanya nasikh dan mansukh tersebut didasarkan pada hadis: la washiyyata li waritsin. Menurut Imam al-Syafi’i, hadis ini diriwayatkan secara mutawatir dan tidak ditemukan ulama yang membantahnya.

Selanjutnya ulama Syafi’iyah, sebagaimana dijelaskan oleh Abd. al-Rahman al-Jaziriy, mengemukakan bahwa hukum wasiat menurut syar’i ada lima macam: (1) Wajib, apabila wasiat itu berhubungan dengan penunaian hutang atau pengembalian barang pinjaman dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak manusia. (2) Haram, apabila wasiat diberikan kepada seseorang yang suka melakukan mafsadah (kerusakan). (3) Makruh, apabila wasiat itu diberikan lebih dari sepertiga harta peningggalan atau diberikan kepada ahli waris. (4) Sunat, apabila wasiat itu telah memenuhi segala persyaratan wasiat yang telah ditentukan dan tidak termasuk ke dalam wasiat wajib, wasiat haram, atau wasiat makruh, seperti wasiat kepada selain ahli waris yang layak mendapat wasiat menurut pertimbangan logika, atau wasiat kepada fakir miskin dan lain-lain. (5) Mubah, seperti wasiat yang diberikan kepada orang kaya.[70]

Imam Malik mengemukakan penalaran yang tidak jauh berbeda dengan penalaran yang ditempuh Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Menurut beliau, hukum wasiat tidak wajib karena telah terjadinya nasakh[71]. Selanjutnya ulama Malikiyah mengemukakan lima macam wasiat ditinjau dari segi hukumnya : (1) Wajib bagi orang yang memiliki hutang atau pinjaman yang berhubungan dengan hak manusia atau hak Allah yang wajib ditunaikan. (2) Haram, apabila berwasiat melakukan sesuatu yang haram, seperti berwasiat agar mayatnya diratapi dan sebagainya. (3) Sunat, apabila berwasiat untuk menunaikan sesuatu yang berhubungan dengan hak Allah yang sifatnya wajib. (4) Makruh, apabila wasiat itu diberikan oleh orang yang memiliki sedikit harta dan mempunyai ahli waris. (5) Mubah, apabila wasiat itu berkaitan dengan segala sesuatu yang dibolehkan.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikutip oleh Ibn al-Qudamah dan Nasiruddin al-Baniy, hukum wasiat itu tidak wajib, baik ketika masih hidup maupun setelah mati. Ahmad ibn Hanbal berpendapat sesuai dengan pendapat Ibn Abbas dan Ibn Umar bahwa surat al-Baqarah ayat 180 telah di-nasakh-kan oleh ayat-ayat kewarisan.[72]

Selanjutnya hukum wasiat menurut ulama Hanabilah ada lima macam: (1) Sunat, apabila berwasiat kurang dari sepertiga harta, (2) Makruh, apabila diberikan oleh orang yang fakir dan memiliki ahli waris, (3) Mubah, apabila diberikan kepada orang yang fakir dan ahli warisnya adalah berkecukupan, atau tidak mempunyai ahli waris, (4) Wajib, bagi orang yang mempunyai kewajiban yang mesti ditunaikan dan tidak dapat diketahui orang lain kecuali dengan diwasiatkannya. (5) Haram, apabila berwasiat melebihi dari sepertiga harta warisan sedang dia mempunyai ahli waris.[73]

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa penalaran jumhur ulama tentang hukum wasiat, pada dasarnya dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu (1) wasiat yang bersifat ta’abbudi yaitu wasiat yang wajib dilakukan karena berhubungan dengan kewajiban-kewajiban yang harus (belum) ditunaikan, seperti hutang yang belum sempat ditunaikan, zakat yang belum dikeluarkan atau kafarat yang belum dilaksanakan. Wasiat dalam bentuk ini mesti dilakukan. Dengan demikian, orang tersebut akan berdosa bila tidak mengerjakannya. Namun pengadilan atau keluarga yang masih hidup tidak mempunyai hak untuk memaksakan pelaksanaannya sekiranya tidak diucapkan. (2) wasiat yang bersifat ikhtiyariyah yaitu wasiat yang diberikan kepada kerabat yang tidak menerima harta warisan atau kepada orang lain berdasarkan keinginan pewasiat. Wasiat dalam bentuk ini hukumnya bisa sunat, makruh, mubah, ataupun haram.



[1] Wahbah al Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, (Damaskus : Dar al Fikr, 2002), Juz 10, h. 7438

[2] Louis Ma`luf, al Munjid fi al Lughah wa al `Alam, (Beirut : Dar al Masyriq, 1986), h. 904

[3] Fathurrahman Djamil, Wasiat : Makna, Urgensi dan Kedudukannya dalam Islam dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 38 Tahun IX 1998, h. 5

[4] Wahbah al Zuhailiy, op.cit, h. 7439-7440

[5] Syams al Din al Syarakhsiy, al Mabsuth Syarh al Kafiy, (Mesir : t.pn, 1331 H), Juz XXVII, h. 142; lihat juga al Mahammi Subhi al Mahmashani, al Mabadi` al Syar`iyyah wa al Qanuniyyah, (Beirut : Dar al `Ilm al Malayin, 1967), Cet. IV, h. 151

[6] Mahmashani, ibid,

[7] `Abd al Rahman al Jaziri, Kitab Fiqh `ala Mazahib al Arba`ah, (Beirut : Dar al Fikr, 1986), Juz III, h. 316

[8] Ibid,

[9] Ibid,

[10] al-Sayid al-Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, [t.th]), juz.III, h. 414-415.

[11] Lihat, Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf f.

[12] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7442

[13] Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-Jashshash (selanjutnya disebut al-Jashshash), Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), juz.I, h. 165. Lihat juga: Ibn katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), jilid I, h. 212.

[14] Lihat: Ibn ‘al-’Arabiy al-Malikiy, ‘Aridhah al-Ahwadiy bi Syarh Shahih al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, [t.th.]), Juz. VII, h. 209.

[15] Lihat: Al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, [t.th]), jil.III, h. 106.

[16]Al-Jashshash, loc.cit.

[17]Selanjutnya lihat komentar para ulama tentang nilai hadis ini dalam pembahasan penalaran ulama hadis pada halaman 41-44.

[18] Ibid.

[19] Ibn Katsir al-Qursiy al-Dimasyqiy (selanjutnya disebut Ibn Katsir), Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), juz.I, h. 212-214.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy), Jami’ al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz.I, h. 115-121.

[23] Ibn al-’Arabi, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, [t.th.]), jilid I, h. 69.

[24] Muhammad Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Barda Zabh, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, [t.th.]), Juz. II, h. 204.

[25] Ibn al-’Arabi, loc.cit..

[26] M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Syirqah ‘Iqalat al-Din, [t.th.]), juz II, h. 135.

[27] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al Asqalaniy, Fath al Bary, (t.tp : al Maktabah al Salafiyah, t.th), h. 355; lihat juga Abu al Husain Muslim ibn al Hajjaj ibn Muslim al Qusyairiy, al Jami` al Shahih, (Beirut : Dar al Fikr, t.th), Jilid 5, h. 70; Abu Dawud Sulaiman ibn al Asy`as al Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut : Dar al Fikr, 1994), Jilid 3, h. 32; Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al Turmudziy, al Jami` al Shahih, (Beirut : Dar al Fikr, 1983), Jilid 3, h. 292

[28] Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al Turmudziy, ibid., h. 293

[29] Abu al Husain Muslim ibn al Hajjaj ibn Muslim al Qusyairiy, op.cit, h. 71

[30] Wahbah al Zuhaily, loc.cit.,

[31] Ibid, h. 7446

[32] al Mahhammiy Subhiy Mahmasaniy, op.cit., h. 157-159

[33] Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Kairo : Maktabah Dar al Turats, t.t ), Juz 3, h. 418

[34] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7447

[35] Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., h. 419

[36] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7459

[37] Ibid,

[38] Ibn al Qudamah, al Mughni, (Kairo : Dar al Manar, 1367 H), Juz 6, h. 100

[39] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7460

[40] Kafir Harbi adalah orang kafir yang memusuhi Islam. Mereka senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Negara mereka disebut sebagai Dar al Harbi. Orang-orang Kafir Harbi ini tidak berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam, kecuali jika mereka berada dan tunduk di bawah peraturan pemerintahan Islam. Dalam kondisi demikian, maka status mereka berubah menjadi Kafir Dzimmi. Ketika itu, ia harus dilindungi dan memiliki kebebasan bergerak dan beragama di Dar al Islam. Selama mereka berada di Dar al Islam, maka kedudukan mereka di depan hukum sama dengan kedudukan muslim. Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), Jilid 3, h. 858

[41] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7461

[42] Ibid, Lihat juga al Mahammiy Subhi al Mahmasaniy, op.cit., h. 175; Abdul Aziz Dahlan, op.cit., Jilid 6, h. 1927

[43] Wahbah al Zuhailiy, ibid.,

[44] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7464

[45] Ibid, h. 7463

[46] Ibid, h. 7462;

[47] al Mahammiy Subhi al Mahmasaniy, op.cit., h. 177-179; lihat juga Sayid Sabiq, op.cit., h. 421

[48] Ibid,; lihat juga Sayyid Sabiq, loc.cit.,

[49] Abi `Isa Muhammad bin `Isa bin Saurah, op.cit., Juz 4, h. 43

[50] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit., h. 1927-1928

[51] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7479

[52] Ibid,

[53] Ibid, h. 7480

[54] Nurchozin, Bentuk-bentuk, Persyaratan, dan Kekuatan Hukum Wasiat Menurut Hukum Islam dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 38 Tahun IX 1998 (Jakarta : Al Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1998), h. 15

[55] al Mahammiy Subhi Mahmasaniy, op.cit., h. 157-159

[56] Wahbah al Zuhailiy, op.cit., h. 7447

[57] Lihat, Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h. 1928

[58] al-Jashshash, op.cit., h. 164.

[59] Ibid, h. 164-165.

[60] Ibid.

[61] Al-Thabariy, op. cit., h. 120

[62] Ibid.

[63] Subhi Mahmashani, op.cit., h.

[64] Lihat: al-Yasa Abu Bakar, op. cit., h. 191.

[65] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz.VIII, h. 12.

[66] Abd. al-Rahman al-Jaziry, op.cit., h. 326-327. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Ibid., h. 13.

[67] Abd. al-Rahman al-Jaziry, Ibid.

[68] Dalam Wahbah al-Zuhaily ditegaskan bahwa di kalangan ulama Hanafiyah wasiat kepada orang fasiq hukumnya makruh tahrim. Wahbah al-Zuhailiy, op.cit., h. 13.

[69] Al-Syafi’i, al-Risalah, loc.cit.

[70] Abd. al-Rahman al-Jaziry, loc.cit.

[71] Ibid.

[72] Lihat: Muhammad Muwafiq al-Din Abdullah ibn Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafiy fi Fiqh al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz. II, h. 338-339., Lihat juga: Muhammad Nasiruddin al-Baniy, al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad, (Beirut: Dar al-Khair, [t.th.]), juz.II, h. 36-37.

[73] Ibn Qudamah, Ibid., lihat juga: Nasiruddin al-Baniy, Ibid., h. 38-39.